Thursday, September 13, 2007

NORMALISASI SUNGAI PERLU PERENCANAAN KOMPREHENSIF DAN TERPADU

Tulisan ini mencoba memberikan memberikan beberapa landasan berpikir sebagai pijakan untuk menangani proyek normalisasi sungai ataupun drainase, mengingat di Tarakan tahun ini akan dilaksanakan proyek normalisasi dibebarapa sungai ataupun drainase yang menurut penulis perlu dilakukan dengan perencanaan yang konprehensif dan terpadu. Dalam hal ini yang perlu dilakukan bukan hanya semata persoalan teknis tetapi juga include persoalan–persoalan sosial kemasyarakatan, bahkan juga persoalan ekonomi.
Saluran yang mengalirkan air dengan suatu permukaan bebas disebut saluran terbuka, menurut asalnya saluran dapat digolongkan menjadi saluran alam (natural) dan saluran buatan (artificial). Normalisasi sebenarnya adalah upaya perapian/menata sungai ataupun drainase, ironis memang karena justru sungai yang lurus-lurus disebut normal, sedang yang masih alamiah terkadang dianggap bukan sungai normal. Sifat-sifat hidrolis saluran alam biasanya tidak menentu, hal ini disebabkan oleh faktor alam dan karakteristik daerah aliran sungai (DAS).
Proyek normalisasi biasanya meliputi pengerasan dinding sungai, pembangunan sudetan, pembuatan tanggul dan juga pengerukan. Pengerasan atau penguatan tebing sungai biasanya dilakukan dengan pembetonan dinding atau dengan pemasangan batukali, sudetan biasanya dilakukan dengan membuat sungai baru yang lurus dengan lintasan terpendek. Sedang pembuatan tanggul biasanya dilakukan dengan timbunan tanah atau dengan dinding beton yang terpasang memanjang di lokasi–lokasi bergeografi rendah yang dipandang rawan banjir.

Menata DAS = Menjaga Ekosistem
Bioregionalisme adalah suatu pemikiran dan praktek terkait yang melibatkan tantangan yang menghubungkan kebudayaan dan perilaku manusia lokal secara lestari terhadap ekosistem dalam skala regional. Munculnya konsep bioregion sebagai kerangka untuk mempelajari hubungan yang kompleks antara komonitas manusia, lembaga pemerintah dan dunia alami (ekosistem). Penataan pada daerah aliran sungai (DAS) sangat dibutuhkan dalam menata ruang laut dan pesisir, hal ini sangat terkait erat dengan karakteristik fisik dari DAS yang dipengaruhi oleh manusia, karena apabila terjadi perubahan fisik DAS akan berpengaruh pula pada DAS dan ekosistem terkait.
Konservasi merupakan bagian terpenting dalam menata DAS yang terkait ruang laut dan pesisir, hal ini dimasudkan sebagai langkah mempertahankan keberlangsungan suatu kondisi alam, sosial budaya, ataupun kearifan lokal yang ditemukan pada suatu kawasan perairan atau pulau, penetapan fungsi konservasi dapat berarti bahwa kawasan tersebut dapat dijadikan sebagai kawasan lindung, menata DAS pada gilirannya akan menjaga ekosistem.

Belajar Dari Pengalaman Negara Lain
Di Indonesia solusi klasik dari permasalahan sungai seperti banjir, tanah longsor, dan sejenisnya, memang masih normalisasi sungai/saluran. Padahal di negara maju seperti Jerman, America Serikat, dan bahkan Belanda, cara ini ditinggalkan karena mereka sudah merasakan dampaknya. Bahkan yang terjadi sekarang adalah sebaliknya, banyak proyek–proyek renaturalisasi sungai. Proyek mengalamiahkan sungai ini memakan dana milyaran dolar AS, untuk membuat sungai yang telah diluruskan menjadi sungai yang berkelok–kelok lagi. Misalnya renaturalisasi sungai Kissimee di Florida, America Serikat, yang menghabiskan dana dua milyar dolar AS. Contoh lain adalah renatulalisasi sungai Enz di Stuttgart, Jerman, sungai tersebut yang telah dinormalisasi malah dikelok–kelokan lagi.

Perlu disadari bahwa normalisasi sungai menurut pengalaman banyak negara bukanlah solusi yang baik dan justru dapat berdampak sebaliknya, normalisasi memperparah banjir , terutama di daerah hilir atau tengah DAS yang kebetulan relatif rendah. Pertumbuhan permukiman disepanjang sungai ini, menurut pengalaman diberbagai negara berkembang tidak dapat dihindari dengan program apapun. Disamping itu masih ada dampak kerusakan ekosistem yang begitu dahsyat di muara sungai berupa pendangkalan-pendangkalan yang terjadi dihampir semua muara sungai di Tarakan khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Hal ini juga diperparah lagi dengan penebangan hutan yang tidak terkendali.

Tumbuhnya Pemukiman di Bantaran Sungai
Normalisasi selalu dapat diartikan sebagai foralisasi atau diijinkannya permukiman di bantaran sungai dan akan menyebabkan terjadinya penyempitan alur sungai. Pemikiran ini dapat dijabarkan sebagai berikut. Dengan semakin banyakya permukiman di bantaran sungai secara otomatis dan simultan terjadi penyempitan alur sungai. Karena masyarakat yang tinggal dipinggir sungai khawatirkan akan terjadi banjir atau erosi, maka hampir semua masyarakat di pinggir sungai karena rendahnya pengetahuan mereka tentang konsep integralistik penanganan banjir selalu menghendaki pembetonan, pembuatan tanggul, normalisasi sungai. Cara–cara ini dianggap mengamankan mereka dari ancaman banjir dan longsor.
Namun masyarakat tak pernah berpikir akibat tuntutan mereka, meningkatkan bahaya banjir dibagian hilir karena arus air menjadi semakin cepat mengalir ke hilir dan akibat – akibat lainnya. Perbaikan tebing sungai dapat memperhalus dinding sungai dan mengakibatkan daya pengaliran debit sungai ditempat tersebut meningkat dan muka level air menjadi lebih rendah, sehingga tidak membanjiri rumah penduduk. Dengan kondisi seperti ini masyarakat merasa aman tinggal ditepi sungai. Namun rasa aman ini berakibat fatal dikemudian hari.
Rasa aman mempengaruhi masyarakat lain untuk berpindah dan tinggal juga disepanjang sungai yang telah dinormalisasikan, hal ini mengakibatkan jadinya pertumbuhan permukiman di sepanjang sungai yang sangat sulit dikendalikan. Pertumbuhan permukiman tak terkendali ini juga akan terjadi jika disepanjang alur sungai yang dibangun tanggul, dan kasus ini terjadi dimana – mana. Konsekuensi dari program pelurusan sungai dan pembutan tanggu adalah jika terjadi banjir dan tanggul jebol maka korban jiwa dan harta benda masyarakat sepanjang alur sungai akan sangat banyak, karena banjir menerjang secara tiba – tiba.


Upaya Relokasi Sebagai Salah Satu Solusi
Peliknya upaya pelaksanaan proyek normalisasi sungai tidak terlepas dari persoalan lahan yang terbatas, dimana kanan dan kiri bantaran sungai telah berdiri sejak lama pemukiman masyarakat, baik itu memang masyarakat nelayan (tradisional) yang sangat tergantung dengan sungai yang menghubungkan perahu mereka ke laut ataupun kelompok masyarakat ekonomi lemah yang dengan terpaksa membangun rumah di bantaran sungai tersebut.
Dimana apabila mengacu pada perencanaan yang ada maka banyak tanah dan rumah masyarakat yang terimbas terkena dampak proyek tersebut. Tentu saja hal ini harus dicarikan solusi yang tepat dengan tidak meninggalkan akar budaya masyarakat setempat serta sedapat mungkin mengurangi ekses negatif yang dapat saja timbul. Tentu sangat diharapkan oleh pemerintah ataupun masyarakat solusi yang menguntungkan semua pihak, sehingga kegiatan proyek pemerintah dapat berjalan sebagaimana mestinya.


Ada beberapa skenario penangan relokasi pemukiman warga bantaran sungai; pertama ganti untung dengan masyarakat mencari sendiri pemukiman baru mereka, pada kondisi ini pemerintah tidak disibukan dengan persoalan relokasi, masyarakat secara swadaya mencari solusi atas permasalahan mereka sendiri. Kedua relokasi ke newtown di Juata, dengan syarat masyarakat merasa nyaman dan cocok dengan karakter mereka dengan fasilitas yang jauh lebih baik, ketiga menempatkan mereka di RUSUNAWA (Rumah Susun Sewa Murah). RUSUNAWA adalah sebuah konsep baru bagi masyarakat Indonesia umumnya dan saat ini sedang digalakan oleh pemerintah pusat pembangunannya. Namun tak ada salahnya mencoba hal ini mengingat di Tarakan lahan lambat laun menjadi sangat terbatas dan mahal. Pemerintah Kota Tarakan tahun ini akan mendapatkan satu unit RUSUNAWA dari Kementerian Negara Perumahan Rakyat yang ditempatkan di Universitas Borneo.

Dampak Normalisasi Sungai
Perlu diketahui tanggul sungai adalah bangunan sungai yang paling lemah secara struktur, jika muka air naik lebih satu hari saja, akan timbul titik – titik rawan yang mengarah ke jebolnya tanggul tersebut. Hasil pengamatan menunjukan hampir semua banjir di Indonesia yang terjadi diikuti dengan jebolnya tanggul. Pelurusan sungai juga membawa konsekuensi pada semakin meningkatnya erosi di sepanjang DAS. Jika erosi ini terjadi dilokasi pilar jembatan maka dapat saja menyebabkan jembatan tersebut runtuh. Akibat lainnya adalah bahwa sungai–sungai hasil pelurusan atau normalisasi ini merupakan sungai yang sangat sulit dikembangkan dikemudian hari. Misalnya untuk konservasi air, pelayaran, wisata, pengembangan ekologi flora dan fauna sungai, dan seterusnya. Hal ini karena konservasi air butuh aliran air yang kontiniu, pelayaran sungai memerlukan lebar sungai yang cukup dan fluktuasi air yang stabil dan tidak ekstrim, serta wisata air memerlukan pemandangan flora dan fauna pinggir sungai yang masih alamiah dan hijau.

Pemeliharaan Sungai
Upaya pemeliharaan sungai merupakan pesoalan yang krusial pasca dilasanakannya proyek tersebut, mengingat beban anggaran pemeliharaan pemerintah kota sangat terbatas, oleh karenanya sangat dibutuhkan partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan sungai tersebut. Partisipasi masyarakat dapat dalam bentuk tidak membuang sampah ke sungai dan menutup semua permukaan tanah yang terbuka dengan cara menanaminya sehingga pada gilirannya disepanjang bantaran sungai menjadi lebih hijau, hal ini dimakudkan agar tidak terjadi sedimentasi. Pemerintah juga harus berupaya mencegah penebangan–penebangan hutan secara liar yang terjadi, pemerintah kota juga tidak memberika ijin mendirikan bangunan (IMB) yang berlokasi dibantaran sungai.

Radar Tarakan, 10,11,12,13 May , 2007
Penulis Anggota Litbang IKA-KPMKT Tarakan
sabaruddin_deu@yahoo.co.id

No comments: